BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Kaidah
Dan Prinsip Mua’malah
Awalnya cakupan muamalah didalam fiqh
meliputi permasalahan keluarga,seperti perkawinan dan perceraian . akan tetapi
setelah terjadi disintegrasi di dunia islam,khususnya zaman utsmanni (turki
ottoman),terjadi perkembanggan pembagian fiqh. Cakupan bidang muamalah di
persempit. Sehinga masalah yang berhubungan dengan masalah keluarga tidak masuk
lagi dalam pengertian mua’malah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya
di sebut al-ahwal al-syakhsihiyah ( masalah pribadi). Dengan begitu mua’malah
memberikan gambaran bahwa mua’malah hanya mengatur permasalahan hak dan harta
yang muncul dari transaksi antara badan hukum dengan badan hukum lainnya.[1]
Bank
adalah badan hukum atau lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit
dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan perendaran uang, dengan tujuan
memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Di dalam
perekonomian modern, bank di pandang sebagai industri yaitu industri perbankan
yang menghasilkan bermacam-macam produk berupa jasa yang di sebut produk
perbankan. produk ini di tawarkan kepada konsumen dengan syarat-syarat tertentu
yang harus di penuhi oleh kedua belah pihak dalam bertransaksi. Konsumen
dimaksud disini adakalanya orang perorangan dan badan hukum.[2]
Sedangkan di dalam badan hukum
perekonomian global, sulit menemukan standar etika bisnis. Kesulitan itu, kata
tantri abeng, terletak pada tidak adanya kersamaan pandangan yang universal
terhadap etika bisnis itu sendiri. Apa dianggap etis di indonesia belum tentu
dapat di terima di lingkungan masyarakat lain, misalnya amerika serikat.[3]
B.
Prinsip-prinsip Muamalah
Di
atas telah dikemukakan bahwa muamalah adalah merupakan bagian
dari hukum Islam yang mengatur
hubungan antara dua pihak atau lebih dalam
suatu transaksi. Dari
pengertian ini ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari
muamalah;
Pertama, bagaimana transaksi itu
dilakukan. Hal ini menyangkut dengan
etika (adabiyah) suatu
transaksi, seperti ijab kabul, saling meridhai, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu
pihak, adanya hak dan kewajiban masing-masing,
kejujuran; atau mungkin ada
penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari
indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan
masyarakat.
Kedua,
apa bentuk
transaksi itu. Ini menyangkut materi (madiyah)
transaksi yang dilakukan, seperti
jual beli, pegang gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan
harta dan jasa, sewa menyewa dan lain sebagainya.
Berdasarkan
ruang lingkup di atas, maka prinsip-prinsip muamalah berada
pada wilayah etika (adabiyah),
yaitu bagaimana transasksi itu dilakukan.
Prinsip-prinsip itu pada
intinya menghendaki agar pada setiap prosesi
transaksi tidak merugikan
salah satu atau kedua belah pihak, atau hanya
menguntungkan salah satupihak
saja. Prinsip-prinsip itu, antara lain, adalah
sebagai berikut :
Pertama,
setiap
transaksi pada dasarnya mengikat pihak-pihak yang
melakukan transaksi itu
sendiri, kecuali transaksi itu ternyata melanggar syariat.
Prinsip ini sesuai dengan
maksud ayat surat al-Maidah : 1 dan surat al-Isra. : 34,
yang memerintahkan orang-orang
mukmin supaya memenuhi akad atau janjinya
apabila mereka melakukan
perjanjian dalam suatu transaksi.
Kedua,
butir-butir
pererjanjian dalam transaksi itu dirancang dan
dilaksanakan oleh kedua belah
pihak secara bebas tatapi penuh tanggung jawab, selama tidak bertentangan
dengan peraturan syariat dan adab sopan santun.
Ketiga,
setiap
transaksi dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan atau intimidasi dari
pihak manapun.
Keempat,
pembuat hukum
(syari.) mewajibkan agar setiap perencanaan
transaksi dan pelaksanaannya
didasarkan atas niat baik, sehingga segala bentuk
penipuan, kecurangan, dan
penyelewengan dapat dihindari. Bagi yang tertipu atau dicurigai diberi hak khiar
(kebebasan memilih untuk melangsungkan atau
membatalkan transaksi
tersebut).
Kelima,
penentuan hak
yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh
syara. Pada urf atau
adat untuk menentukan kriteria dan batasannya. Artinya,
peranan.Urf atau adat
kebiasaan dalam bidang transaksi sangat menentukan
selama syara. tidak menentukan
lain. Oleh sebab itu, ada juga yang mendefinisikan muamalah sebagai hukum
syara. yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti jual beli, pinjam
meminjam, sewa menyewa.
Inti
dari kelima prinsip di atas adalah bahwa dalam suatu transaksi yang
melahirkan akad perjanjian
bersifat mengikat pihak-pihak yang melakukannya
dilakukan secara bebas
bertanggung jawab dalam menetukan bentuk perjanjian
maupun yang berkenaan dengan hak
dan kewajiban masing-masing atas kemauan kedua belah pihak tanpa ada paksaan
didasari atas niat baik dan kejujuran dan memenuhi syarat-syarat yang sudah
biasa dilakukan, seperti syarat-syarat administrasi, saksi-saksi, agunan dalam
pinjam meminjam, dan sebagainya.
Dalam bermua’malah kita juga harus
selalu berpegang teguh dengan norma-norma ilahiyah. kewajiban yang harus
memegang teguh ilahiyah karena sebagai upaya untuk melindungi hak masing-masing
pihak dalam bermua’malah.
Prinsip
–prinsip mua’malah yang telah diatur dalam hukum islam tertuang dan terangkum
dalam kaidah dan prinsip-prinsip dasar fiqh mua’malah . kaidah paling dasar
mua’malah dan paling utama yang menjadi landasan kegiatan mua’malah yaitu
kaidah yang sangat terkenal dan di sepakati oleh ulama adalah empat mazhab.[4]
C.
Mazhab
Menurut Ulama
1.
Ulama
Hanafiyah .
مُبَادَلَة شَيْئٍُمَرْغُوْبٍفِيْهِ
بِمِثْلِ عَلىَ وَجْهٍ مُقَيَّدٍ مَخْصُوْصٍ
“Tukar menukar sesuatu dengan yang diingini dengan
yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
Dalam definisi
diatas mengandung pengertian khusus yang ulama hanafiyah yaitu melalui ijab
(ungkapan membeli dari pembeli) dan qabu (pernyataan menjual dari
penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari
penjual dan pembeli. Selain itu, harta yang di perjualbelikan harus bermanfaat bagi
manusia. Sehinga bangkai, minuman keras dan darah, tidak termasuk sesuatu yang
boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi umat
muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap di perjualbelikan ,
menurut ulama hanafiyah tidak sah.
2.
Menurut
Ulama Hanabilah
“saling menukar harta dengan harta dalam
bentuk pemindahan milik dan pemilikan.”
Dalam hal ini
mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan pemilikan.” , karena ada juga
tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,seperti sewa-menyewa
(ijarah).
3.
Mazhab
Maliki
Menurut mazhab
maliki, jual beli ada atau bai, menurut istilah ada dua pengertian, yakni:
a)
Pengertian
untuk seluruh satuannya bai (jual beli), yang mencakup
akad sharaf, salam dan lain sebagainya.
b)
Pengertian
untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang di pahamkan dari
lafal bai’ secra mutlak menurut uruf (adat kebiasaan).
4.
Mazhab
Syafi’i
Ulama mazhab syafi’i mendefinisikan
bahwa jual beli menurut syara’ ialah akad penukaran harta dengan harta dengan cara
tertentu.
Dan beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjajian tukar-menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak , yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah di benarkan syara’ dan di sepakati.[5]
Langkah-langkah
pengembangan model transaksi dan produk dalam konteks ekonomi islam tetap harus
mempunyai landasan dan dasar hukum yang jelas dari perspektif fiqih. Landasan
hukum ini diperlukan agar pengembangan ekonomi islam dengan segala produknya
tidak berkembang liar dan keluar dari koridor islam atau bahkan bertengtangan
dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang kental dengan moral ilahiyah. Untuk
mencegah hal tersebut terjadi maka ulama
membangun dabit atau prinsip-prinsip dasar fiqh mua’malah dalam islam dan yang
paling utama adalah:
1.
Prinsip
pertama
“Hukum dasar mua’malah adalah halal, sampai
ada dalil yang mengharamkannya”
Prinsip
ini yang menjadi kesepakatan di kalangan ulama. Prinsip ini memberikan
kebebasan yang sangat luas kepada manusia sehinga untuk mengembangkan dan model
transaksi,produk-produk akad dalam bermua’malah. Kebebasan ini tetap ada
batasannya, tetapi kebebasan yang terbatas
oleh aturan syara’ yang telah di tetapkan oleh Al-qur’an,Al-sunnah dan
ijtihad ulama.
Yang terpenting dari bermua’malah
yaitu jangan sampai menimbulkan kezaliman, terjerumus dalam praktik ribawi, garar, ,maisir, dan tindakan
–tindakan lain yang dapat merugikan
pihak yang terlibat dalam transaksi mua’malah.
Landasan
prinsip dasar di atas antara lain :
a.
Firman
Allah dalam surat Al-Maidah ayat :
بِالْعُقُودِ أَوْفُوا آمَنُوا الَّذينَ أَيُّهَا يا
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu”
b.
Firman
Allah dalam surat al-isra’ ayat 34;
مَسْئُولًا كَانَ الْعَهْدَ إِنَّ ۖ لْعَهْدِ بِا فُوا
وْ أَوَ
“Dan
penuhilah janji ;sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.”
c.
Firman
Allah dalam surat Al-An’am ayat 145
رِجْسٌ فَإِنَّهُ لَحْمَ أَوْ مَسْفُوحًا دَمًا أَوْ
مَيْتَةً يَكُونَ أَنْ إِلَّا يَطْعَمُهُ طَاعِمٍ
عَلَىٰ مُحَرَّمًا إِلَيَّ أُوحِيَ مَا فِي
أَجِدُ لَا قُلْ
“katakanlah :”tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku ,sesuatu yang di haramkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi – karena sesungguhnyasemua itu kotor.”
d.
Firman
dari surat an-nisa ayat 29;
“Hai
orang-orang beriman ,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil , kecuali dengan jalan yang perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu”
e.
Firman
Allah dalam surat an-nam ayat 119;
“padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu.”
f.
Firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 3;
“pada
hari ini telah kesempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-cukupkan kepadamu
nikmat-ku,dan telah ku –ridhai islam itu jd agama bagimu”
2.
Prinsip
kedua
“Hukum dasar syarat-syarat dalam
mua’malah adalah halal”
Prinsip ini memberikan kebebasan
kepada umat islam untuk mengembangkan model dalam bermua’malah, baik akad
maupun produknya. Umat islam juga di berikan kebebasan untuk membuat
syarat-syarat tertentu dala, bertransaksi, namun jangan sampai kebebasan
tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan transaksi.
3.
Prinsip
ketiga
“Larangan berbuat zalim”
Zalim adalah melakukan sesuatu tidak
pada tempatnya. Dalam konteks mua’malah
adalah melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan, atau melakukan sesuatu yang terlarang dan
meninggalkan sesuatu yang seharusnya
dilakukan.
Landasan prinsip ini antara lain adalah :
a.
Firman Allah dalam surat Al-Araf ayat 85:
فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا
النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
ذَٰلِكُمْ ذَٰلِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya,dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman “.
b.
Firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 188;
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil.
4.
Prinsip
larangan gharar
Gharar
memeliki arti yang tidak jelas. Dalam arti muamalah, ghrara memiliki arti
ketidak jelasan objek transaksi atau transaksi itu sendiri yang berpotensi menimbulkan
perselisihan para pihak yang bertransaksi. Larangan gharar dalam mu’amalah
adalah agar para pihak yang melakukan mu’amalah terhindar dari penipuan,
khusunya yang melakukan transaksi atau
akad.
5.
Prinsip
Larangan Riba
Riba
pada dasarnya adalah tambahan atau kelebihan yang di ambil secara zalim. Secara
garis besar ada dua macam riba dalam mu’amalah, yang pertama riba fadl dan yang
ke dua riba nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang disyaratkan dalam akad jual
beli atau barter antara barang yang sama secara kuantitas atau jumlah lebih
banyak dari penukaran, sedangkan riba nasi’ah yaitu tambahan dalam suatu akad
jual beli atau barter karena adanya penundaan penyerahan barang yang di tukar
baik barang yang di tukar sejenis maupun barang yang tidak di tukar sejenis.
6.
Larangan
Maisir
Maisir
dalam mu’amalah adalah tindakan spekulasi yang tidak menggunakan dasar sama
sekali. Dalam menjalankan kegiatan mu’amalah agama islam mengajar kan umat nya
untuk berhati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan seperti
kezaliman yang dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan suatu akad.
Berdasarkan prinsip larangan maisir ini maka di larang jual beli ikan di dalam
kolam yang belum jelas jumlah dan bobotnya di karenakan hal ini akan merugikan
salah satu pihak.
7.
Prinsip
Jujur dan dapat dipercaya
Kejujuran
menjadi kata kunci dalam bermu’amaalh. Namun dalam bermu’amalah kejujuran
menjadi suatu hal yang sangat amat berat di lakukan terlebih lagi bila bisnis
hanya beporitas keuntungan dunia semata. Prinsip jujur atau dapat di percaya
harus menjadi pegangan bagi para pelaku bisnis agar mereka tidak dapat keuntungan
dunia saja melainkan keuntungan ukhrawi.
Jadi tanpa adanya prinsip
kejujuran dan dapat di percaya dalam
berbisnis maka akan rentan akan hadir nya penipuan dan kezaliman yang akan
merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu prinsip kejujuran oleh para ulama
di anjurkan dalam melakukan berbisnis agar para berbisnis dapat di percaya
dalam melakukan mu’amalah.[6]
8.
Prinsip
Sadd Al-Dzari’ah
Dzari’ah secara bahasa berarti
prantara, dalam konteks hukum islam, dzari’ah berarti perantara atau sarana
yang dapat menimbulkan kemadharatan kerugian. Secara lebih luas, dalam hal ini
dzari’ah berarti sarana atau perantara yang secara lahiriah hukumnya mubah,
namun bisa mendatangkan kemadaratan yang di haram kan. Ada tiga macam dzari’ah,
yaitu pertama dzari’ah yang harus di hindari di karenakan kalau dzari’ah ini di
lakukan makan akan menimbulkan kerusakan. Yang kedua dzari’ah yang kemungkinan
menimbulkan kemudaratan. Yang ke tiga yang kecil kemungkinan menimbulkan
kemadaratan dan kerusakan.
Kaidah dan prinsip-prinsip dasar di
atas masih sangat mengglobal dalam arti masih membutuhkan pemaparan dan kajian
yang lebih komprehensif dan lebih jelas dalam memahaminya. oleh karena kita
harus mempelajari ilmu fiqih mu’amalah lebih lanjut karena terdapat
aturan-aturan yang lebih terperinci.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi
Islam, 2005, jilid
5, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Hendi Suhendi, 2002, Fiqh
Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Imam Mustofa, 2015, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, PT. Raja
Grafika Persada, Jakarta.
Muhammad Muslehuddin, 2004, Sistem
Perbankan dalam Islam, cet ke 4, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Tantri Abeng, 1994, “Pengaruh
Aliansi Birokrasi dengan Pengusaha Terhadap
Etika Bisnis,” dalam Demokrasi
Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia masa Orde Baru, Ed., Elza
Peldi Taher, Yayasan Paramadina,
Jakarta.
Bisnis,” dalam Demokrasi
Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia masa Orde Baru,
Ed., Elza Peldi
Taher,, (Jakarta: Yayasan Paramadina), hal. 85
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, 2005,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 35
[4] Op.cit,. Tantri, Abeng, Hal.
90
[6] Imam mustofa, fiqh mua’malah
kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers), 2016. hlm 9-20
[7] Op.cit,. Muhammad
Muslehuddin, hal. 13
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....