Kamis, 08 Juni 2017

ASURANSI



BABI
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian Asuransi
   Dalam bahasa Belanda kata asuransi disebut Assurantie yang terdiri dari kata “assuradeur” yang berarti penanggung dan “geassureerde” yang berarti tertanggung. Kemudian dalam bahasa Perancis disebut “Assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Sedangkan dalam bahasa Latin disebut “Assecurare” yang berarti meyakinkan orang. Selanjutnya bahasa Inggris kata asuransi disebut “Insurance” yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dan “Assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi.
Usaha perasuransian adalah lembaga keuangan bukan bank yang telah makin berkembang seiring dengan adanya kesadaran dari masyarakat, terutama masyarakat di perkotaan akan pentingnya hakikat dari asuransi tersebut dalam mengantisipasi timbulnya kerugian, atau kehilangan keuntungan keuntungan dari suatu kegiatan usaha yang dijalankannya.[1]
            Di Indonesia pengertian Asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi adalah sebagai berikut:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
            Dalam perjanjian asuransi dimana  tertanggung dan penanggung mengikat suatu perjanjian tentang hak dan kewajiban masing-masing. Perusahaan asuransi membebankan sejumlah premi yang harus dibayar tertanggung. Premi yang harus dibayar sebelumnya sudah ditaksirkan dulu atau diperhitungkan dengan nilai iesiko yang akan dihadapi. Semakin banyak risiko, semakin besar premi yang harus dibayar dan sebaliknya.[2]
Secara lebih dalam untuk memberikan perbandingan tentang definisi asuransi, dapat kita lihat pada pendapat dibawah ini:
1)      Prof. Mehr dan Cammack mengatakan bahwa asuransi adalah alat sosial untuk mengurangi risiko, dengan menggabungkan sejumlah yang memadai unit-unit yang terkena risiko, sehingga kerugian-kerugian individual mereka secara kolektif dapat diramalkan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung.
2)      Molengraaff mengatakan bahwa asuransi kerugian adalah persetujuan dengan mana satu pihak, penanggung mengikatkan diri terhadap orang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk dan belum tentu serta kebetulan, dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.
Dari berbagai definisi di atas dapat kita pahami bahwa dalam konsep manajemen risiko pada perusahaan asuransi ada dua pihak, yaitu:
1)      Penanggung (insurer) yaitu sebuah perusahaan asuransi yang bertugas untuk menanggung beberapa kerugian yang timbul, yang tentu didahului oleh kesepakatan yang dibuat.
2)      Tertanggung (unsurer) yaitu nasabah yang selama ini telah membayar uang premi kepada pihak penanggung secara berangsur-angsur dan disiplin, dimana dengan pengajuan klaim yang dilakukan oleh pihak tertanggung maka pihak penanggung wajib untuk mengecek atau menilai seberapa besar kerusakan yang timbul atau yang diderita oleh nasabah yang bersangkutan.[3]

B.     Sejarah Perkembangan Asuransi
Pada zaman Raja Hamurabi, yaitu Raja Babylon VI (1782-1682 sebelum Masehi). Pada saat itu telah dihimpun berbagai undang-undang hingga menjadi sebuah kitab yang berisi 300 pasal. Bekas kitab tersebut masih terlihat di dalam condex justinianus dan code napaleon. Dalam kitab itu, terdapat suatu peraturan yang diperuntukan bagi para peserta kafilah. Peraturan itu ialah jika seorang peserta ada yang kecurian atau kehilangan harta di luar kesalahannya, maka hartanya akan diganti oleh semua peserta.
Pada zaman keemasan Yunani kuno dibawah pemerintah Iskandar Zulkarnain (356-323 sebelum Masehi), saat itu Menteri Keuangannya yaitu Antimenes. Karena pemerintahan sangat kekurangan uang, Antimenes menganjurkan kepada para orang kaya yang memiliki budak belian agar mendaftarkan budaknya dan membayar sejumlah uang setiap tahun kepada pemerintah. Hal tersebut dilengkapi dengan pejanjian antara pemilik budak dengan kepala daerah, yang menyatakan bahwa”jika seorang budak melarikan diri, maka pemilik budak berhak meminta kepada kepala daerah untuk menangkap budak itu, atau kepala daerah membayar kepada pemilik budak seharga budak itu.
Di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada abad II, kemudian memencar di berbagai daerah di Eropa pada abad XIV. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1666 yang melahab lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariah diawali dengan mulai beroperasinya bank-bank syariah. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksaan bank syariah. Untuk itulah pada tanggal 27 Juli 1993, Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) melalui yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI).[4]

C.    Manfaat Asuransi
Ada beberapa manfaat yang bisa diterima pada saat seseorang atau institusi masuk asuransi yaitu:[5]
1)      Asuransi mampu berperan sebagai penetralisir risiko. Pengertian penetralisir risiko adalah pada saat risiko terjadi dan semakin lama cenderung semakin besar maka pihak asuransi dengan berbagai formatnya berusaha kuat agar risiko yang dialami oleh suatu perusahaan tidak semakin tinggi namun bisa diperkecil hingga bisa dihilangkan. Namun yang perlu diingat bahwa usaha untuk menghilangkan risiko hinggan mencapai titik nol adalah sangat sulit, namun dengan adanya lembaga asuransi diharapkan risiko tersebut bisa berada pada titik terkecil. Bagi beberapa pihak selalu saja ada usaha-usaha yang kuat untuk benar-benar menghilangkan risiko yaitu dengan memasukkan dan menerapkan berbagai formula yang ditemukan atau dikreatifkan.
2)      Asuransi sebagai pihak pengganti kerugian. Seseorang yang masuk dan terdaftar sebagai nasabah asuransi berkewajiban membayar setiap bulannya dengan rician serta biaya klaim asurani yang ditentukan dalam surat perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Asuransi sebagai penanggung risiko adalah memiliki fungsi tegas bahwa pada saat nasabah mengalami risiko seperti kebakaran dan sejenisnya sesuai dengan kebutuhan yang berlaku maka kewajiban untuk mengganti kerugian sebesar yang diperjanjikan.
3)      Mengurangi siksaan mental dan fisik bagi pihak tertanggung yang disebabkan rasa takut dan kekhawatiran.
4)      Mengasilkan tingkat produksi, tingkat harga dan struktur harga yang optimum.
5)      Memperbaiki posisi persaingan perusahaan kecil. Sebagai tambahan perusahaan asuransi dalam praktik berperan pula dalam aktivitas penting pengendalian kerugian.

D.    Penggolongan Asuransi
1)      Dilihat dari segi fungsinya[6]
a)      Asuransi Kerugian (non life innsurance)
Asuransi kerugian adalah asuransi yang menjalankan usaha memberikan jasa untuk menanggulangi risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga dari suatu peristiwa yang tidak pasti. Usaha asuransi kerugian di Indonesia antara lain:
·         Asuransi kebakaran
·         Asuransi pengangkutan
·         Asuransi aneka, yaitu jenis asuransi kerugian meliputi antara lain asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan bermotor, asuransi kecelakaan diri, pencurian dan lainnya.
b)      Asuransi jiwa (life insurance)
Asuransi jiwa merupakan perusahaan asuransi yang dikaitkan dengan penanggulangan jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi ini adalah jenis asuransi  yang diberikan pada kasus meninggal dunia yaitu berupa bantuan atau santunan kepada pihak keluarga atau ahli waris oleh pihak asuransi.
c)      Reasuransi (reinsurance)
Reasuransi merupakan jenis usaha asuransi yang cara kerjanya menggunakan sistem penyebaran resiko, maksudnya penanggung atau pihak ketiga (asuransi) menyebarkan atau melimpahkan sebagian atau seluruh resiko kepada pihak penanggung lainnya. hal tersebut dilakukan bertujuan sebagai pencegahan jika pihak penanggung tersebut tidak dapat mengatasi atau menanggung klaim resiko dari pemegang asuransi.
2)      Dilihat dari Polis Dasar[7]
a)      Asuransi berjangka (term life insurance)
Yaitu asuransi yang menyediakan jasa asuransi jiwa untuk periode tertentu sesuai dengan kesepakatan, misalnya 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun dan seterusnya.
b)      Asuransi seumur hidup (whole life insurance)
Adalah asuransi yang menyediakan jasa asuransi jiwa untuk seumur hidup pemegang polis yang mengharuskannya membayar premi setiap tahun. Polis ini merupakan polis perlindungan bagi keluarga karena penanggung akan memberikan sejumlah uang kepada ahli waris hanya bila peserta meninggal dunia sampai di usia berapa pun.
c)      Asuransi dua manfaat (endowment)
Adalah kontrak asuransi jiwa yang masa berlakunya dibatasi misalnya 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, atau mencapai usia tertentu misalnya 65 tahun sebelum peserta meninggal dunia.
d)      Asuransi unit investasi (unit linked)
Adalah satu bentuk investasi kolektif yang ditawarkan melalui polis asuransi. Polis asuransi ini menawarkan perlindungan, keuntungan dan fleksibilitas dalam berinvestasi. Investasi dilakukan dalam bentuk unit link yang kemudian di investasikan oleh manager investasi.
3)      Dilihat dari segi kepemilikannya[8]
Dalam hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun reasuransi.
a)      Asuransi milik pemerintah
b)      Asuransi milik swasta nasional
c)      Asuransi milik perusahaan asing
d)      Asuransi milik campuran
4)      Dilihat dari sifat pelaksananya[9]
a)      Asuransi sukarela
Asuransi sukarela merupakan penanggungan jasa yang diberikan secara sukarela, maksudnya asuransi dilakukkan karena adanya suatu ketidakpastian atau resiko kerugian yang dapat terjadi. Contohnya asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi jiwa, dan asuransi pendidikan.
b)      Asuransi wajib
Asuransi wajib merupakan jenis asuransi yang bersifat mutlak atau wajib, artinya asuransi ini wajib diikuti oleh semua pihak yang terkait dengan aturan yang ada (undang – undang) dan ketentuan dari pemerintah. Contoh asuransi ini yaitu asuransi jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), asuransi kesehatan (askes) dan lainnya. selain asuransi dari pemerintah ada juga asuransi wajib kepada pihak perbankan, misalnya penerima kredit yang mengalami resiko yang terjadi secara tidak terduga yang dapat merugikan pihak bank.



E.     Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah suatu bidang ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu oranisasi menerapkan ukuran dalam menetapkan berbagai permasalahan yang ada dengan menempatkan dengan berbagai pendekatan manajemen secara komprehensif dan sistemasis. Sedangkan asuransi merupakan sebuah lembaga yang didirikan atas dasar untuk menstabilkan kondisi bisnis dari berbagai risiko yang mungkin terjadi, dengan harapan pada saat risiko dialihkan ke pihak asuransi maka perusahaan menjadi lebih fokus menjalankan usaha.
Manajemen risiko ialah suatu ilmu yang diajarkan dan dikaji, dianalisis dan dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan diberbagai sekolah khususnya universitas. Sedangkan asuransi adalah sebuah perusahaan yang didirikan dengan kepemilikan struktur organisasi dimana disana terdapat komisaris dan manajemen perusahaan, dengan orientasi utama perusahaan memperoleh profit yang maksimal dan bersifat kontinuetas (berkelanjutan).
Manajemen risiko lebih menekankan kegiatannya pada menemukan dan menganalisa risiko murni. Sedangkan asuransi merupakan salah satu cara menanggulangi risiko murni tertentu.
Manajemen risiko tugas hakikatnya hanya memberikan penilaian belaka terhadap semua teknik penanggulangan risiko (termasuk asuransi).Sedangkan asuransi tugasnya menangani seluruh proses pengalihan risiko.
Pelaksanaan program manajemen risiko menghendaki adanya kerja sama dengan sejumlah individu dan bagian-bagian dari perusahaan. Sedangkan asuransi melibatkan jumlah orang dan kegiatan-kegiatan yang lebih kecil.
Keputusan manajemen risiko mempunyai pengaruh yang lebih luas/besar terhadap operasi perusahaan. Sedangkan keputusan di bidang asuransi mempunyai pengaruh yang lebih luas.[10]

F.     Perhitungan premi asuransi
1)      Metode Human Life Value, metode ini perhitungan Uang Pertanggungan (UP) mutlak dihitung berdasarkan rata-rata pendapatan setiap bulan yang kita setahunkan serta dikali dengan ekspektasi lamanya dana tersebut menopang hidup hingga ahli waris mampu untuk mendapatkan income sendiri. Metode ini tidak perlu mempertimbangkan faktor pertumbuhan dana jika UP tersebut disimpan dalam Bank atau lembaga investasi lain. Contoh:
Seorang ayah 35 tahun memiliki penghasilan bersih Rp 5 juta setiap bulannya, istri ibu rumah tangga mereka memiliki 1 orang anak usia 9 tahun. Jika sang ayah meninggal maka besarnya UP adalah sebagai berikut:
Human Life Value Rp 5 juta X 12 X 5 =Rp 300 juta, ini berarti jika diambil sebesar Rp 5 juta setiap bulannya akan bertahan selama 5 tahun untuk biaya hidup jika sang ayah meninggal dunia (tanpa menghitung bunga atau pertumbuhan dana).
2)      Metode Income Based Value, metode ini perhitungan UP mutlak dihitung berdasarkan rata-rata pendapatan setiap bulan yang kita setahunkan dibagi dengan faktor pertumbuhan dana karena UP tersebut wajib disimpan dalam lembaga investasi selain bank.  Contoh:
Income Based Value: (Rp 5 juta X 12)/6 persen = Rp 1 miliar. Penjelasan: mengapa dibagi dengan 6 persen? Karena jika UP diterima maka dana tersebut asumsinya oleh ahli waris akan ditempatkan pada instrumen investasi pendapatan tetap seperti ORI (Obligasi Ritel Indonesia), Sukuk (Obilgasi Syariah) atau Reksa Dana Pendapatan Tetap (bukan pada Deposito) yang secara historis memiliki kinerja setahun pada kisaran 6 persen s.d 10 persen. Jadi uang sebesar Rp 1 miliar akan menghasilkan Rp 5 juta setiap bulannya karena Rp 1 miliar X (6 persen/12)=Rp 5 juta per bulan.
3)      Metode Financial Needs Based Value, metode ini lebih spesifik untuk memproteksi kebutuhan financial dimasa mendatang misalkan dana pendidikan. Dalam prakteknya untuk menghindari pembayaran premi yang sangat besar maka metode ini tidak bisa berdiri sendiri namun harus dikombinasikan dengan investasi produk yang cocok untuk hal ini adalah asuransi unitlink dimana pengembalian rata-ratanya di atas deposito. metode ini tidak memproteksi penghasilan melainkan kebutuhan keuangan di masa mendatang. Contoh:
Financial Needs Based Value: Contoh metode ini untuk memproteksi biaya pendidikan kelak jika sang ayah meninggal. Misalkan biaya pendidikan di universitas sekarang adalah Rp 200 juta maka 9 tahun lagi biaya pendidikan menjadi sekitar Rp 550 juta dengan perkiraan kenaikan biaya pendidikan 12 persen setiap tahunnya. Jadi UP untuk memproteksi biaya pendidikan adalah sebesar Rp 550 juta atau kalau ingin lebih murah bisa dengan UP Rp 275 juta dan membeli produk asuransi Unitlink yang sudah  instrumen investasi di dalamnya .[11]

G.    Perbedaan asuransi kovensional dan syariah
1)      Perbedaan Konsep Fundamental
Dewan Syariah Nasional MUI menetapkan pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful,atau tadhamun) sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui dana investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (fatwa DSN MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah). Berdasarkan fatwa DSN MUI tersebut dapat diartikan bahwa konsep fundamental asuransi syariah adalah kegiatan tolong menolong diantara peserta asuransi syariah dan tidak bertujuan komersil.
Sementara itu, konsep dasar asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta dan perusahaan. Hal ini dapat dipahami dari arti asuransi secara umum yang berarti “jaminan”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata ‘asuransi’ adalah ‘pertanggungan’. Definisi standar asuransi dijelaskan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa konsep fundamental asuransi konvensional adalah jual beli antara peserta dengan perusahaan asuransi.[12]
2)      Perbedaan Pengelolaan Risiko
Prinsip pengelolan risiko asuransi syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama peserta asuransi. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko asuransi konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko peserta asuransi ke perusahaan asuransi.
3)      Perbedaan Prinsip-prinsip Pengelolaan Asuransi
Menurut Amrin (2011), pengelolaan asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a)      Prinsip Tauhid
b)      Prinsip Keadilan
c)      Prinsip Tolong Menolong
d)     Prinsip Amanah
e)      Prinsip Saling Ridha (‘An Taradhin)
f)       Prinsip Menghindari Riba
g)      Prinsip Menghindari Maisir[13]
h)      Prinsip Menghindari Gharar
i)        Prinsip Menghindari Risywah (Sogok-Menyogok)
j)        Berserah Diri Dan Ikhtiar
k)      Saling Bertanggung Jawab
l)        Saling Melindungi Dan Berbagi Kesusahan

Sementara itu, pengelolaan asuransi konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1)      Insurable Interest
Prinsip ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang ingin mengasuransikan (tertanggung) harus mempunyai hubungan keuangan dengan obyek yang dipertanggungkan, sehingga pada tertanggung timbul hak atau kepentingan atas obyek yang dipertanggungkan sehingga hubungan keuangan antara tertanggung dengan obyek pertanggungan menjadi sah menurut hukum yang berlaku.
2)      Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Prinsip ini menyatakan bahwa tertanggung yang ingin mengasuransikan obyek pertanggungan harus mempunyai itikad yang sangat baik dalam berasuransi. Hal ini bermakna bahwa tertanggung harus secara sukarela menerangkn kondisi yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta yang ada atas obyek yang akan dipertanggungkan tersebut kepada penanggung, sehingga penanggung memperoleh informasi secara lengkap dan benar mengenai kondisi obyek pertanggungan. Dan sebaliknya, penanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan.
3)      Indemnity
Prinsip ini menganut azaz keseimbangan dalam asuransi, maksudnya adalah siriko yang dialihkan kepada penanggung harus diimbangi dengan premi yang dibayar oleh tertanggung. Azas keseimbangan ini mempunyai arti penting, sebab bila terjadi kerugian, maka ganti rugi atas kerugian tersebut harus sebanding dengan risiko yang dialihkan kepada penanggung.
4)      Subrogation
Prinsip subrogation diatur dalam pasal 284 kitab Undang-undang Hukum Dagang yang berbunyi “apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian kepada tertanggung”. Dengan kata lain, apabila anda mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka pihak perusahaan asuransi, setelah memberikan ganti rugi kepada nasabah, akan menggantikan kedudukan nasabah dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Penggantian posisi semacam itu disebut subrogasi.[14]


Sedangkan menurut Heri Sudarsono dalam bukunya mengatakan bahwa perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional sebagai berikut.[15]
Keterangan
Asuransi Syariah
Asuransi Konvensional
Pengawasan Dewan Syariah (PDS)
Adanya dewan pengawas syariah. Fungsinya mengawasi produk yang di pasarkan dan investasi dana.
Tidak ada
Akad
Tolong menolong (takafulli)
Jual beli
Investasi dana
Investasi dana berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
Investasi dana berdasarkan bunga.
Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta. Perusahaan yang sebagai pemegang amanah yang mengelola.
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan; perusahaan bebas menentukan investasinya.
Pembayaran klaim
Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan) seluruh peserta; sejak awal sudah di ikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
Dari rekening dana perusahaan.
Keuntungan (profit)
Dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (al-mudharabah).
Seluruhnya menjadi pemilik perusahaan.



















CATATAN TAMBAHAN
1)      Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan.
2)      Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan.
3)      Polis asuransi adalah surat perjanjian antara pihak yang menjadi peserta asuransi dengan perusahaan asuransi.
BAB II
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Di Indonesia pengertian Asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi adalah sebagai berikut:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Manfaat asuransi antara lain: asuransi mampu berperan sebagai penetralisir risiko; asuransi sebagai pihak pengganti kerugian; mengurangi siksaan mental dan fisik bagi pihak tertanggung yang disebabkan rasa takut dan kekhawatiran; mengasilkan tingkat produksi, tingkat harga dan struktur harga yang optimum; emperbaiki posisi persaingan perusahaan kecil. Sebagai tambahan perusahaan asuransi dalam praktik berperan pula dalam aktivitas penting pengendalian kerugian.
Perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syariah, yaitu perbedaan konsep fundamental; perbedaan pengelolaan risiko; dan perbedaan prinsip-prinsip pengelolaan asuransi.



DAFTAR PUSTAKA

Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010)
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2013)
Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011)
Irham Fahmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Bandung:Alfabeta, 2014)
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
Novi Puspitasari, “Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional”, dalam JEAM Vol X No. 1/2011
http://asuransitakaful.net/tips-memilih-asuransi/tips-menghitung-uang-pertanggungan-asuransi/


[1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h.9
[2] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.259
[3] Irham Fahmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Bandung:Alfabeta, 2014), h.205-206
[4] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2013), h.125
[5] Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.112
[6] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 261
[7] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), h.270
[8] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 262
[9] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), h.271
[10] Irham Fahmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Bandung:Alfabeta, 2014), h.219
[12] Novi Puspitasari, “Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional”, dalam JEAM Vol X No. 1/2011 h.39
[13] Maisir dalam bahasa Arab adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa bekerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja keras
[14] Novi Puspitasari, “Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional”, dalam JEAM Vol X No. 1/2011 h. 40-45
[15] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2013), h.131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar