Kamis, 08 Juni 2017

Kaidah Dan Prinsip Mua’malah



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Kaidah Dan Prinsip Mua’malah


Awalnya cakupan muamalah didalam fiqh meliputi permasalahan keluarga,seperti perkawinan dan perceraian . akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia islam,khususnya zaman utsmanni (turki ottoman),terjadi perkembanggan pembagian fiqh. Cakupan bidang muamalah di persempit. Sehinga masalah yang berhubungan dengan masalah keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian mua’malah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya di sebut al-ahwal al-syakhsihiyah ( masalah pribadi). Dengan begitu mua’malah memberikan gambaran bahwa mua’malah hanya mengatur permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara badan hukum dengan badan hukum lainnya.[1]

            Bank adalah badan hukum atau lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan perendaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Di dalam perekonomian modern, bank di pandang sebagai industri yaitu industri perbankan yang menghasilkan bermacam-macam produk berupa jasa yang di sebut produk perbankan. produk ini di tawarkan kepada konsumen dengan syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi oleh kedua belah pihak dalam bertransaksi. Konsumen dimaksud disini adakalanya orang perorangan dan badan hukum.[2]
Sedangkan di dalam badan hukum perekonomian global, sulit menemukan standar etika bisnis. Kesulitan itu, kata tantri abeng, terletak pada tidak adanya kersamaan pandangan yang universal terhadap etika bisnis itu sendiri. Apa dianggap etis di indonesia belum tentu dapat di terima di lingkungan masyarakat lain, misalnya amerika serikat.[3]

B.    Prinsip-prinsip Muamalah

            Di atas telah dikemukakan bahwa muamalah adalah merupakan bagian
dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam
suatu transaksi. Dari pengertian ini ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari
muamalah;

Pertama, bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini menyangkut dengan
etika (adabiyah) suatu transaksi, seperti ijab kabul, saling meridhai, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya hak dan kewajiban masing-masing,
kejujuran; atau mungkin ada penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat.

            Kedua, apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut materi (madiyah)
transaksi yang dilakukan, seperti jual beli, pegang gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan harta dan jasa, sewa menyewa dan lain sebagainya.

Berdasarkan ruang lingkup di atas, maka prinsip-prinsip muamalah berada
pada wilayah etika (adabiyah), yaitu bagaimana transasksi itu dilakukan.
Prinsip-prinsip itu pada intinya menghendaki agar pada setiap prosesi
transaksi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak, atau hanya
menguntungkan salah satupihak saja. Prinsip-prinsip itu, antara lain, adalah
sebagai berikut :
Pertama, setiap transaksi pada dasarnya mengikat pihak-pihak yang
melakukan transaksi itu sendiri, kecuali transaksi itu ternyata melanggar syariat.
Prinsip ini sesuai dengan maksud ayat surat al-Maidah : 1 dan surat al-Isra. : 34,
yang memerintahkan orang-orang mukmin supaya memenuhi akad atau janjinya
apabila mereka melakukan perjanjian dalam suatu transaksi.
Kedua, butir-butir pererjanjian dalam transaksi itu dirancang dan
dilaksanakan oleh kedua belah pihak secara bebas tatapi penuh tanggung jawab, selama tidak bertentangan dengan peraturan syariat dan adab sopan santun.
Ketiga, setiap transaksi dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan atau intimidasi dari pihak manapun.
Keempat, pembuat hukum (syari.) mewajibkan agar setiap perencanaan
transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat baik, sehingga segala bentuk
penipuan, kecurangan, dan penyelewengan dapat dihindari. Bagi yang tertipu atau dicurigai diberi hak khiar (kebebasan memilih untuk melangsungkan atau
membatalkan transaksi tersebut).
Kelima, penentuan hak yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh
syara. Pada urf atau adat untuk menentukan kriteria dan batasannya. Artinya,
peranan.Urf atau adat kebiasaan dalam bidang transaksi sangat menentukan
selama syara. tidak menentukan lain. Oleh sebab itu, ada juga yang mendefinisikan muamalah sebagai hukum syara. yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa.

            Inti dari kelima prinsip di atas adalah bahwa dalam suatu transaksi yang
melahirkan akad perjanjian bersifat mengikat pihak-pihak yang melakukannya
dilakukan secara bebas bertanggung jawab dalam menetukan bentuk perjanjian
maupun yang berkenaan dengan hak dan kewajiban masing-masing atas kemauan kedua belah pihak tanpa ada paksaan didasari atas niat baik dan kejujuran dan memenuhi syarat-syarat yang sudah biasa dilakukan, seperti syarat-syarat administrasi, saksi-saksi, agunan dalam pinjam meminjam, dan sebagainya.



Dalam bermua’malah kita juga harus selalu berpegang teguh dengan norma-norma ilahiyah. kewajiban yang harus memegang teguh ilahiyah karena sebagai upaya untuk melindungi hak masing-masing pihak dalam bermua’malah.
Prinsip –prinsip mua’malah yang telah diatur dalam hukum islam tertuang dan terangkum dalam kaidah dan prinsip-prinsip dasar fiqh mua’malah . kaidah paling dasar mua’malah dan paling utama yang menjadi landasan kegiatan mua’malah yaitu kaidah yang sangat terkenal dan di sepakati oleh ulama adalah empat mazhab.[4]

C.   Mazhab Menurut Ulama

1.    Ulama Hanafiyah .
مُبَادَلَة شَيْئٍُمَرْغُوْبٍفِيْهِ بِمِثْلِ عَلىَ وَجْهٍ مُقَيَّدٍ مَخْصُوْصٍ

Tukar  menukar sesuatu dengan yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
Dalam definisi diatas mengandung pengertian khusus yang ulama hanafiyah yaitu melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabu (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Selain itu, harta yang di perjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia. Sehinga bangkai, minuman keras dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi umat muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap di perjualbelikan , menurut ulama hanafiyah tidak sah.
2.    Menurut Ulama Hanabilah
   saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.”
Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan pemilikan.” , karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,seperti sewa-menyewa (ijarah).

3.    Mazhab Maliki
Menurut mazhab maliki, jual beli ada atau bai, menurut istilah ada dua pengertian, yakni:
a)    Pengertian untuk seluruh satuannya bai (jual beli), yang mencakup
akad sharaf, salam dan lain sebagainya.
b)    Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang di pahamkan dari lafal bai’ secra mutlak menurut uruf (adat kebiasaan).

4.    Mazhab Syafi’i

Ulama mazhab syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’ ialah akad penukaran harta dengan harta dengan cara tertentu.

Dan beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjajian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara  kedua belah pihak , yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah di benarkan syara’ dan di sepakati.[5]

            Langkah-langkah pengembangan model transaksi dan produk dalam konteks ekonomi islam tetap harus mempunyai landasan dan dasar hukum yang jelas dari perspektif fiqih. Landasan hukum ini diperlukan agar pengembangan ekonomi islam dengan segala produknya tidak berkembang liar dan keluar dari koridor islam atau bahkan bertengtangan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang kental dengan moral ilahiyah. Untuk mencegah hal tersebut  terjadi maka ulama membangun dabit atau prinsip-prinsip dasar fiqh mua’malah dalam islam dan yang paling utama adalah:



1.            Prinsip pertama

Hukum dasar mua’malah adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya”

            Prinsip ini yang menjadi kesepakatan di kalangan ulama. Prinsip ini memberikan kebebasan yang sangat luas kepada manusia sehinga untuk mengembangkan dan model transaksi,produk-produk akad dalam bermua’malah. Kebebasan ini tetap ada batasannya, tetapi kebebasan yang terbatas  oleh aturan syara’ yang telah di tetapkan oleh Al-qur’an,Al-sunnah dan ijtihad ulama.


Yang terpenting dari bermua’malah yaitu jangan sampai menimbulkan kezaliman, terjerumus dalam praktik  ribawi, garar, ,maisir, dan tindakan –tindakan lain yang dapat  merugikan pihak yang terlibat dalam transaksi mua’malah.


Landasan prinsip dasar di atas antara lain :

a.            Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat :

بِالْعُقُودِ أَوْفُوا آمَنُوا الَّذينَ أَيُّهَا يا

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”

b.            Firman Allah dalam surat al-isra’ ayat 34;

مَسْئُولًا كَانَ الْعَهْدَ إِنَّ ۖ لْعَهْدِ بِا فُوا وْ أَوَ

“Dan penuhilah janji ;sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.”
c.            Firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 145
            رِجْسٌ فَإِنَّهُ لَحْمَ أَوْ مَسْفُوحًا دَمًا أَوْ مَيْتَةً يَكُونَ أَنْ إِلَّا يَطْعَمُهُ طَاعِمٍ عَلَىٰ مُحَرَّمًا إِلَيَّ أُوحِيَ مَا فِي أَجِدُ لَا قُلْ
“katakanlah :”tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku ,sesuatu yang di haramkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnyasemua itu kotor.”
d.            Firman dari surat an-nisa ayat 29;

“Hai orang-orang beriman ,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil , kecuali dengan jalan yang perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”

e.            Firman Allah dalam surat an-nam ayat 119;

“padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.”

f.             Firman  Allah dalam surat  Al-maidah ayat 3;

“pada hari ini telah kesempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-cukupkan kepadamu nikmat-ku,dan telah ku –ridhai islam itu jd agama bagimu”

2.            Prinsip kedua

“Hukum dasar syarat-syarat dalam mua’malah adalah halal”

Prinsip ini memberikan kebebasan kepada umat islam untuk mengembangkan model dalam bermua’malah, baik akad maupun produknya. Umat islam juga di berikan kebebasan untuk membuat syarat-syarat tertentu dala, bertransaksi, namun jangan sampai kebebasan tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan transaksi.

3.            Prinsip ketiga

Larangan berbuat zalim”

Zalim adalah melakukan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam konteks mua’malah  adalah melakukan sesuatu  yang seharusnya tidak dilakukan, atau melakukan sesuatu yang terlarang dan meninggalkan sesuatu  yang seharusnya dilakukan.

   Landasan prinsip ini antara lain adalah :

a.            Firman  Allah dalam surat  Al-Araf ayat 85:

فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَٰلِكُمْ ذَٰلِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman “.


b.            Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 188;

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.

4.            Prinsip larangan gharar

            Gharar memeliki arti yang tidak jelas. Dalam arti muamalah, ghrara memiliki arti ketidak jelasan objek transaksi atau transaksi itu sendiri yang berpotensi menimbulkan perselisihan para pihak yang bertransaksi. Larangan gharar dalam mu’amalah adalah agar para pihak yang melakukan mu’amalah terhindar dari penipuan, khusunya yang melakukan transaksi  atau akad.

5.            Prinsip Larangan Riba

            Riba pada dasarnya adalah tambahan atau kelebihan yang di ambil secara zalim. Secara garis besar ada dua macam riba dalam mu’amalah, yang pertama riba fadl dan yang ke dua riba nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang disyaratkan dalam akad jual beli atau barter antara barang yang sama secara kuantitas atau jumlah lebih banyak dari penukaran, sedangkan riba nasi’ah yaitu tambahan dalam suatu akad jual beli atau barter karena adanya penundaan penyerahan barang yang di tukar baik barang yang di tukar sejenis maupun barang yang tidak di tukar sejenis.

6.            Larangan Maisir

            Maisir dalam mu’amalah adalah tindakan spekulasi yang tidak menggunakan dasar sama sekali. Dalam menjalankan kegiatan mu’amalah agama islam mengajar kan umat nya untuk berhati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan seperti kezaliman yang dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan suatu akad. Berdasarkan prinsip larangan maisir ini maka di larang jual beli ikan di dalam kolam yang belum jelas jumlah dan bobotnya di karenakan hal ini akan merugikan salah satu pihak.

7.            Prinsip Jujur dan dapat dipercaya

            Kejujuran menjadi kata kunci dalam bermu’amaalh. Namun dalam bermu’amalah kejujuran menjadi suatu hal yang sangat amat berat di lakukan terlebih lagi bila bisnis hanya beporitas keuntungan dunia semata. Prinsip jujur atau dapat di percaya harus menjadi pegangan bagi para pelaku bisnis agar mereka tidak dapat keuntungan dunia saja melainkan keuntungan ukhrawi.
Jadi tanpa adanya prinsip kejujuran  dan dapat di percaya dalam berbisnis maka akan rentan akan hadir nya penipuan dan kezaliman yang akan merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu prinsip kejujuran oleh para ulama di anjurkan dalam melakukan berbisnis agar para berbisnis dapat di percaya dalam melakukan mu’amalah.[6]


8.            Prinsip Sadd Al-Dzari’ah

Dzari’ah secara bahasa berarti prantara, dalam konteks hukum islam, dzari’ah berarti perantara atau sarana yang dapat menimbulkan kemadharatan kerugian. Secara lebih luas, dalam hal ini dzari’ah berarti sarana atau perantara yang secara lahiriah hukumnya mubah, namun bisa mendatangkan kemadaratan yang di haram kan. Ada tiga macam dzari’ah, yaitu pertama dzari’ah yang harus di hindari di karenakan kalau dzari’ah ini di lakukan makan akan menimbulkan kerusakan. Yang kedua dzari’ah yang kemungkinan menimbulkan kemudaratan. Yang ke tiga yang kecil kemungkinan menimbulkan kemadaratan dan kerusakan.

Kaidah dan prinsip-prinsip dasar di atas masih sangat mengglobal dalam arti masih membutuhkan pemaparan dan kajian yang lebih komprehensif dan lebih jelas dalam memahaminya. oleh karena kita harus mempelajari ilmu fiqih mu’amalah lebih lanjut karena terdapat aturan-aturan yang lebih terperinci.[7]








DAFTAR PUSTAKA




Ensiklopedi Islam, 2005, jilid 5, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.


Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Imam Mustofa, 2015, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, PT. Raja Grafika Persada, Jakarta.


Muhammad Muslehuddin, 2004, Sistem Perbankan dalam Islam, cet ke 4, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.


Tantri Abeng, 1994, “Pengaruh Aliansi Birokrasi dengan Pengusaha Terhadap
Etika Bisnis,” dalam Demokrasi Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia masa Orde Baru, Ed., Elza Peldi Taher, Yayasan Paramadina,
Jakarta.



[1] Ensiklopedi Islam, 2005, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve), hal. 49
[2] Tantri Abeng, 1994, “Pengaruh Aliansi Birokrasi dengan Pengusaha Terhadap Etika
Bisnis,” dalam Demokrasi Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia masa Orde Baru,
Ed., Elza Peldi Taher,, (Jakarta: Yayasan Paramadina), hal. 85

[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, 2005, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 35
[4] Op.cit,. Tantri, Abeng, Hal. 90
[5] Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), 2004. Hal 10

[6] Imam mustofa, fiqh mua’malah kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers), 2016. hlm 9-20
[7] Op.cit,. Muhammad Muslehuddin, hal. 13

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus