Kamis, 08 Juni 2017

Pegadaian Syariah



BAB I
Pembahasan
A.    Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian ialah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu. Dengan pegadaian ini masyarakat tidak perlu khawatir atau takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Secara umum usaha gadai dapat diartikan sebagai berikut, usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
            Pegadaian memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan.
2.      Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan.
3.      Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.[1]
Pegadaian Syariah atau rahn ialah kegiatan menjaminkan barang berharga milik peminjam kepada orang yang meminjamkan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya berdasarkan prinsip syariah. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang meminjamkan uang mendapatkan jaminan atas uang yang dipinjamkannya kepada peminjam.
Sesuai firman Allah Swt :
وَ اِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُ وْ اكَاتِبًا فِرِهٰنٌ مَّقْبُو ضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah:283)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ اَنَسٍ قَالَ رَهَنَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْ عًا عِنْدَيَهُو دِىٍّ بِالْمَدِ يْنَةِ وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًالِاَهْلِهِ
“dari Anas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau mengutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah (keluarga) beliau.”(Riwayat Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah)[2]



B.     Sejarah Pegadaian Syariah
Usaha pegadaian di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda (VOC) dimana pada saat itu tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk meminjamkan uangdengan jaminan gadai. Yang pada awalnya dijalankan oleh pihak swasta, namun selanjutnya diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda kemudian dijadikan perusahaan negara, menurut Undang-Undang pemerintah Hindia Belanda dengan status dinas pegadaian. Dizaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih usaha Dinas Pegadaian dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian berdasarkan Undang-Undang No. 19 Prp. 1960. Perkembangan selanjutnya Pada taggal 11 Maret 1969 berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 7 Tahun 1969 PN Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan ( Perjan). Kemudian pada tanggal 10 April 1990 berdasarkan peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1990 Perjan Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian sampai sekarang.[3]
Peraturan Pemerintah No. 10 ini menegaskan misi yang harus diemban oleh pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi pegadaian pra-Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep Islam meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Islam. Sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha Islam.
            Perum Pegadaian islam mengeluarkan produk berbasis Islam yang disebut dengan Pegadaian Islam. Yang pada dasarnya memiliki karakteristik seperti tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena hal itu termasuk riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.Pegadaian Islam (rahn) dalam pengoprasiannya menggunakan metode fee base income (FBI) atau mudharabah (bagi hasil).
            Konsep operasi Pegadaian Islam mengacu pada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi pegadaian islam itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Islam/Unit Layanan Gadai Islam (ULGS). ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Islam pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama unit Layanan Gadai Islam (ULGS) Cabang Dewi Sartika dibulan Januari tahun 2003.[4]






C.    Usaha dan Manfaat dalam Pegadaian Syariah
Orang yang menerima barang gadai dapat menikmati manfaat dari barang yang digadaikan itu, tetapi hanya sebatas seberapa ia merawat barang gadaian itu. Orang yang mempunyai barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan atau dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun menjadi tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu walaupun tanpa seizin orang yang menerima rungguhan. Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga jual barang tersebut itu yang tidak diperbolehkan kecuali dengan izin orang yang menerima rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang meruguhkan menjual barang yang sedang dirungguhkan itu, begitu juga menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan.
Sabda Rasulullah Saw:
لَايَغْلَقُ الرَّ هْنُ مِنْ صَا حِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنُمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)
                        Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang dirungguhkan dengan sekadar mengganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw:
اِذَارْ تُهِنَ شَا ةٌ شَرِبَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِ اسْتَفْضَلَ مِنَ اللَّبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلفِ فَهُوَرِبَا
“apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekadar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.”(Riwayat Hammad bin Salmah)[5]
Adanya persyaratan tersebut, menunjukkan ada dua hal yang dapat diambil dari hadist tersebut :
1.      Bahwa pada prinsipnya harta jaminan utang tidak dapat dimanfaatkan oleh pemegang jaminan, karena barang atau sesuatu jaminan hanya berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan pemberi pinjaman bahwa peminjam akan membayar utangnya
2.      Pemeliharaan dan penjagaan barang jaminan pada prinsipnya merupakan kewajiban peminjam atau yang berhutang.[6]
Pemanfaatan barang jaminan utang yang sering dipraktekkan oleh umat islam, seperti penanaman dan pengambilan hasil sawah barang gadaian seutuhnya oleh pemberi pinjaman sampai sawah tersebut ditebus oleh pemiliknya.[7]
Manfaat yang dapat diambil dari prinsip pegadaian ialah :
1.      Menjaga kemungkinan pihak yang berhutang lalai dengan hutangnya
2.      Memberikan keamanan bagi orang yang meminjamkan
3.      Membantu bagi peminjam uang yang membutuhkan dana tanpa harus menjual barang berharganya.









D.    Rukun dan Syarat dalam Pegadaian Syariah
Dalam Pegadaian Syariah terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi yakni:
1.      Rukun Pegadaian Syariah
Dalam menjalanjalankan kegiatan Pegadaian Syariah, Pegadaian harus memenuhi beberapa rukun gadai syariah sebagai berikut:
a.       Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang menggadaikan hendaklah orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
b.      Al-Mutahin (yang menerima gadai)
Yang menerima barang gadai hendaklah orang, Bank, atau lembaga yang dapat dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan
c.       Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
d.      Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasart besarnya tafsiran marhun.
e.       Sighat, ijab dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
2.      Syarat Pegadaian Syariah
a.       Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.


b.      Sighat
1)      Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu dimasa depan.
2)      Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentuatau dengan suatu waktu dimasa depan.
c.       Marhun bih (utang)
1)      Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
2)      Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
3)      Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak diakualifikasi rahn itu tidak sah
d.      Marhun (barang)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
1)      Harus diperjualbelikan
2)      Harus berupa harta yang bernilai
3)      Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
4)      Harus diketahui keadaan fisiknya.
5)      Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.[8]








E.     Produk atau Jasa Pegadaian Syariah
Usaha pokok dari kegiatan Pegadaian Syariah adalah menyalurkan marhun bih dalam jumlah skala kecil dengan jaminan harta bergerak maupun tidak bergerak atas dasar hukum gadai Islam. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, tanggal 26 Juni 2002, dan No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, tanggal 28 Maret 2002.
Pegadaian Syariah merupakan produk dengan menggunakan sistem penyaluran pinjaman secara gadai yang didasarkan pada penerapan sistem syariah islam. Pegadaian Syariah merupakan suatu institusi yang mengelola usaha gadai, tetapi lebih luas dari itu menjadi institusi yang mengelola usaha pembiayaan mikro kecil berbasis sistem syariah.
Perum Pegadaian merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang jasa keuangan non perbankan dengan kegiatan usaha utama menyalurkan kredit kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai. Produk Ar-Rahn untuk usaha mikro kecil yaitu skim pemberian pembiayaan berprinsip Syariah bagi para pengusaha mikro dan kecil untuk keperluan usaha yang didasarkan pada kelayakan usaha yang diatur dalam Surat Edaran (SE) No. 14/US.200/2008 tentang penyaluran pembiayaan ARRUM.[9]








F.     Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dengan Pegadaian Syariah
Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah juga mempunyai beberapa persamaan antara lain :
1.      Hak gadai atas pinjaman uang
2.      Adanya agunan sebagai jaminan utang
3.      Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
4.      Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai
5.      Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang
Selain persamaan, antara Pegadaian konvensional dengan Pegadaian Syariah, memiliki beberapa perbedaan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pegadaian Syariah
a)      Dalam Hukum Islam, Pegadaian (rahn) dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan.
b)      Dalam Hukum Islam, pada Pegadaian (rahn) berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak
c)      Dalam Rahn (Pegadaian Syariah) tidak ada istilah bunga
d)     Pegadaian Syariah menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
2.      Pegadaian Konvensional
a)      Menurut hukum Perdata, disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal
b)      Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak.
c)      Dalam Pegadaian Konvensional dikenal istilah bunga
d)     Menurut hukum perdata Pegadaian dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian.[10]
e)      Dipegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman
f)       Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian, yakni utang piutang dengan jaminan barang bergerak yang ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian Islam yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.[11]





G.    Analisis SWOT Pegadaian Syariah
Prospek suatu Perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisis yang disebut SWOT, atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya (Opportunity), dan ancaman (Threat), sebagai berikut:
1.      Kekuatan (strength) dari sistem Pegadaian Islam
a.       Dukungan umat islam yang merupakan mayoritas penduduk. Perusahaan Pegadaian Islam telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat islam terhadap adanya pegadaian Islam.
b.      Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia. Adanya pegadaian Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram.
c.       Pemberi pnjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian Islam sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Penyediaan pinjaman murah bunga, penyediaan pinjaman mudharabah, tidak akan membebani nasabah dengan biaya-biaya tetap diluar kemampuannya, investasi tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya bunga pinjaman, bersifat mandiri dan tidak terpengaruh oleh gejolak moneter.
2.      Kelemahan (weakness) dari sistem Pegadaian Islam
a.       Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur dapat menjadi boomerang karena pegadaian Islam akan menjadi sasaran bagi mereka yang beritikad tidak baik.
b.      Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil.
c.       Pegadaian Islam lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal
d.      Masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya.
3.      Peluang(opportunity) dari sistem Pegadaian Islam
a.       Peluangan karena pertimbangan kepercayaan agama. Agama Islam tidak mengenal adanya sistem bunga karena hal tersebut termasuk riba sehingga peluang adanya pegadaian Syariah sangat besar.
b.      Adanya peluang ekonomi dari berkembangnya Pegadaian Islam. Adanya pegadaian Islam telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khazanah lembaga keuangan di Indonesia.
4.      Ancaman (threat) dari sistem Pegadaian Islam
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginaan akan adanya Pegadaian Islam itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Maka akan ada banyak pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya Pegadaian Islam ini. Mereka tidak mau tahu bahwa pegadaian Islam itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, ras, agama, dan adat-istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berdirinya Pegadaian Islam. Berikutnya ancaman dari mereka yang terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian besar melalui sistem bunga yang ada.[12]







BAB II
Penutup
A.    Kesimpulan
Pegadaian Syariah atau rahn ialah kegiatan menjaminkan barang berharga milik peminjam kepada orang yang meminjamkan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya berdasarkan prinsip syariah. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang meminjamkan uang mendapatkan jaminan atas uang yang dipinjamkannya kepada peminjam.
Manfaat yang dapat diambil dari prinsip pegadaian ialah :
1.      Menjaga kemungkinan pihak yang berhutang lalai dengan hutangnya
2.      Memberikan keamanan bagi orang yang meminjamkan
3.      Membantu bagi peminjam uang yang membutuhkan dana tanpa harus menjual barang berharganya.
Pegadaian Syariah memiliki perbedaan dengan Pegadaian Konvensional yakni dalam hal prinsip, barang, keuntungan, dan lembaga yang ada di Pegadaian Syariah maupun Konvensional.

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentu terdapat berbagai kekeliruan dan kekurangan baik dari segi penulisan, materi, maupun analisis yang penulis lakukan sebagaimana fitrah kami sebagai manusia, tempat salah dan lupa. Oleh karena itu, dengan setulus hati kami mengharapkan apresiasi pembaca sekalian untuk menyampaikan saran dan kritik demi perbaikan penulisan selanjutnya.





Daftar Pustaka

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta:Rajawali Pers, 2013
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Enizar, Hadis Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah edisi 3, Yogyakarta: Ekonisia, 2012
Faridatun Sa’adah, “Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah Dalam Upaya Menarik Minat Nasabah Pada Pegadaian Syariah”,Al-Iqtishad, Vol.I,No.2,Juli, 2009 (62-86)



[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta:Rajawali Pers, 2013) hal. 232-233
[2]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hal.309
[3] Kasmir, Bank dan Lembaga..., hal. 235-236
[4]Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hal.275-276
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam.., hal. 310-311
[6] Enizar, Hadis Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.97
[7] Ibid.., hal. 99
[8] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah edisi 3, (Yogyakarta: Ekonisia, 2012),hal. 175-176
[9] Faridatun Sa’adah, “Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah Dalam Upaya Menarik Minat Nasabah Pada Pegadaian Syariah”,Al-Iqtishad, Vol.I,No.2,Juli, 2009 (62-86), Hal. 81-82
[10] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga ..., hal. 181
[11] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan.., hal. 282-283
[12] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan.., 284-289

Tidak ada komentar:

Posting Komentar