BAB I
PEMBAHASAN
A.
RUKUN
JUAL BELI SALAM
Jumhur ulama berpandangan bahwa rukun salam ada tiga yaitu
1.
Sighah
yang mencakup ijab dan kabul
2.
pihak
yang berakad, orang yang memesan dan yang menerima pesanan,
3.
barang
dan uang pengganti uang barang.
Sighah harus menggunakan lafazh yang menunjukan kata memesan barang,
karena salam pada dasarnya jual beli dimana barang yang menjadi objeknya
belum ada. Hanya saja diperbolehkan dengan syarat harus menggunakan kata
“memesan” atau salam. Kabul juga
harus menggunakan kalimat yang menunjukan kata menerima atau rela terhadap
harga. Para pihak harus mencakup hukum (baligh atau mumayyiz dan
berakal) serta dapat melakukan akad atau transaksi. Sementara barang yang
menjadi objek jual beli salam adalah barang harus milik penuh si
penjual, barang yang bermanfaat, serta
dapat diserahterimakan. Sementara modal harus diketahui, modal atau uang harus diserahkan
terlebih dahulu di lokasi akad.[1]
Rukun salam
di atas bila dipilah-pilah sebenarnya ada lima hal,
1.
orang
yang memesan (muslim) atau pembeli,
2.
orang
yang menerima pesanan (muslim ilaih) atau penjual,
3.
barang
yang dipesan (muslamfih)
4.
modal
(ra’su mal al-salam)
5.
dan
akad (ijab dan kabul)
B.
SYARAT
JUAL BELI SALAM
Ulama telah bersepakat bahwa salam boleh dilakukan dengan syarat sebagai berikut
:
1.
Jenis
objek jual beli salam harus jelas
2.
Sifat
objek jual beli salam harus jelas
3.
Kadar
atau ukuran objek jual beli salam harus jelas
4.
Jangka
waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas
5.
Asumsi
modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak
KHES Pasal 103 ayat 1-3 menyebutkan syarat salam sebagai
berikut:”(1)Jual-beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan
kualitas barang sudah jelas.(2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau
timbangan dan atau meteran.(3) Spesifikassi barang yang dipesan harus
diketahui secara sempurna oleh para
pihak.”
Persyaratan
salam, khususnya syarat modal dan barang secara lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Syarat
Modal
Modal dalam
salam harus memenuhi syarat antara lain:
a)
Harus
jelass jenisnya, misalnya satuan rupiah, dolar atau mata uang lainnya bila
modal berupa uang tunai; bisa juga barang yang bernilai dan terukur, misalnya
satuan kilo gram atau satuan meteran dan sejenisnya bila modal berupa barang.
b)
Harus
jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari beberapa mata uang. Bila
modal berupa barang, misalnya berass, harus jelas beras jenis apa;
c)
Harus
jelas sifatnya dan kualitassnya, baik sedang atau buruk; ketiga syarat ini
untuk menghindari ketidakjelasan modal yang diberikan pembeli kepada penjual,
sehingga mencegah terjadinya perselisihan diantara penjual dan pembeli;
d)
Harus
jelas kadar modal bila modal memang suatu yang berkadar. Hal ini tidak cukup
dengan isyarat, harus jelas dan eksplisit;
e)
Modal
harus segera diserahkan di lokassi akad atau transaksi sebelum kedua belah
pihak berpisah; apabila kedua belah pihak berpisah sebelum pemesan memberikan
modal, maka akad dianggap rusak dan tidak sah.[2]
2)
Syarat
barang yang dipesan (muslam fih)
Barang yang
menjadi objek jual beli salam harus memenuhi syarat antara lain:
a)
Harus
jelas jenisnya, seperti beras, jagung dan sejenisnya
b)
Harus
jelas macamnya; seperti beras Rojo Lele, Pandan Wangi dan sejenisnya;
c)
Haruss
jelaas sifat dan kualitasnya; seperti beras IR yang bagus, sedang atau yang
berkualitas rendah;
d)
Haruss
jelas kadarnya; seperti dalam satuan kilo gram, takaran, centimeter, bilangan
atau satuan ukuran-ukuran lainnya;
e)
Barang
tidak dibarter dengan barang sejenis yang akan menyebabkan terjadinya riba
fadl;
f)
Barang
yanag dipesan harus dapat ddijelaskan spesifikasinya; apabila barang tidak
dapat dijelasskan spesifikassinya, seperti mata uang rupiah atau dirham, maka salam
tidak sah;
g)
Penyerahan
barang harus diwaktu kemudian, tidak bersamaan dengan penyerahan harga pada
waktu terjadinya akad; bila barang diserahkan langsung maka tidak disebut salam
, akan tetapi jual beli biasa; menurut ulama Hanafiyah jangka waktu salam
addalah sekitar satu bulan, sementara menurut Malikiyah sekitar setengah bulan
atau 15 hari; karena jangka waktu tersebut yang umum terjaddi pada pemesanan
barang;
h)
Kadar
objek akad dalam salam harus jelas dan pasti, karena dalam jual beli salam
tidak berlaku Khiyar syarat kedua belah pihak
atau salah satunya;
i)
Tempat
penyerahan barang harus jelas, ini addalah persyaratan menurut Hanafiyah;
j)
Objek
akad salam atau barang yang diperjual belikan merupakan barang yang
dapat dijelaskan sifat, jenis, kadar, macam dan kualitasnya;[3]
Beberapa
persyaratan akad salam yang diperselisihkan oleh ulama antaralain:
1.
Harga
atau ra’s al-mal harus dibayarkan dimka dan diserahkan secara langsung
dalam majlis akad sebelum kedua belah pihak berpisah, harga
tersebut bisa berupa uang maupun barang. Jika keduanya berpisah sebelum serah
terima harga, maka akad salam batal dengan sendirinya. Sebab yang demikian ini
tidak sesuai dengan pengertian dan tujuan salam. Sebagaimana diketahui bahwa Al-salaf
berarti pembayaran dimuka, sedang al-salam berarti penyerahan harga.
Adapun tujuan semua itu adalah untuk membantu atau meringankan biaya produksi.
Pada sisi lain dipahami bahwa akad salam sesungguhnya masuk dalam kategori jual
beli ‘ain (barang,kontan) dengan dain.jika harga tidak diserahkan pada
majlis akad, maka kategorinya berubah menjadi jual beli dain dengan
dain. Fuqaha Hanafiya, Syafi’iyah dan Hanabilah ssepakat terhadap
persyaratan ini. Sedang menurut Imam Malik pembayaran harga dapat diakhirkan
paling lama tiga hari setelah akad. Jika lebih dari tiga hari, akad salam
menjadi fasid.
2.
Barang
yang dipesan harus bersifat dain (tidak kontan). Syarat ini disepakati
ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, berdasarkan teks hadis “ila
ajalim ma’lum”. Penyerahan barang secara kontan menurut mereka justru
membatalkan akad salam. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, akad salam tetap sah
meskipun barang yang dipesan diserah-terimakan secara langsung. Jika akad salam
ini boleh dilakukan secara tunda, maka penyerahannya secara langsung lebih
pantas untuk diperbolehkan. Imam Syafi’i
memahami teks hadis”ila ajalim ma’lum” dengan pengertian bahwa
penundaan tersebut harus dinyatakan secara jelas, tidak dalam pengertian bahwa
penundaan tersebut sebagai suatu keharusan (syarat) dalam akad salam.
3.
Barang
yang dipesan harus selalutersedia dipasaran sejak akad berlangsung sampai tiba
waktu penyerahan, seperti palawija dan buah-buahan. Jika barang pesanan tidak
tersedia dipasaran seperti terjadi pada musim paceklik, maka tidak boleh
dilakukan akad salam atassnya. Karena mustahil akad salam tersebut dapat
dipenuhi. Demikian ini adalah pendapat sebagian besar fuqaha Hanafiyah. Fuqaha
Malikiyah, dan Syafi’iyah. Sedangkan Hanabilah tidak mensyaratkan keharusan
tersedianya barang pesanan dipasaran ketika akad berlangsung. Karena
sesungguhnya yang terpenting menurut mereka adalah kemampuan menyerahkan barang
pesanan. Hal ini didasarkan riwayat hadis Nabi tentang akad salaf
sebagaimana telah disampaikan dimuka.
4.
Harus
ada kejelassan tempat penyerahan barang terutama jika penyerahannya memerlukan
ongkos (biaya pengiriman). Ini merupakan syarat yang dipegangi oleh fuqaha Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanabilah tidak disyaratkan adanya kejelasan
tempat penyerahan. Jika demikian, menurut Hanabilah, [enyerahannya berlangsung
ditempat akad berlangsung.
5.
Barang
yang dipesan dalam akad salam harus berupa al-misliyat, yakni barang yang banyak
padanannya dipasaran yang kuantitasnya dapat dinyatakan melalui hitungan,
takaran, atau timbangan. Demikian ini merupakan syarat yang disepakati fuqaha
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah akad salam
dibolehkan atas barang al-qimiyyah yang dapat dinyatakan dengan kreteria
tertentu.[4]
Hal-hal lain yang terkait dengan
transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai
dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a) Ketentuan
Pembayaran Uang Kas:
i.
Alat bayar harus diketahui jumlah
dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat;
ii.
Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance);
dan
iii.
Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada
petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta
yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang
dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang
belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
iii.
Waktu dan tempat penyerahan barang
harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv.
Pembeli tidak boleh menjual barang
sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual
beli; dan
v.
Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c)
Penyerahan Barang sebelum Tepat
Waktu:
i.
Penjual wajib menyerahkan barang
tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
ii.
Bila penjual menyerahkan barang,
dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
iii.
Jika penjual menyerahkan barang
dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak
boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv.
Penjual dapat menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak
tersedia tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli
tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1. Membatalkan
kontrak dan meminta kembali uang.
2. Menunggu
sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak
merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga
memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.[5]
Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits berikut yang artinya:
Dari sahabat
Ibnu Abbas radhiallhu ‘anhuma, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa
memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau
bersabda: ‘Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam
jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam
timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'” (Muttafaqun
‘alaih)
Berdasarkan
dalil di atas dan juga lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan disyari’atkanya
jual-beli salam. Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di
atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus
diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud
dan hikmah dari disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur
riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu
pihak.
a. Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana dapat dipahami dari
namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya
mendahulukan, maka para ulama’ telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as
salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang
atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda
(dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan
tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan
menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa
bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal
ini berdasarkan hadits yang artinya sebagai berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli
piutang dengan piutang.” (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan
hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama’ diantaranya Imam As Syafi’i, Ahmad,
dan disetujui oleh Al Albany)
Walau demikian halnya, banyak ulama’ yang menyatakan
bahwa kesepakatan ulama’ telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan
piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada satu
haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan
piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh
memperjual-belikan piutang dengan piutang.”
b. Syarat Kedua: Dilakukan Pada
Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Telah
diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu
dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang
dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria.
Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh
kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka
berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi
percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud. Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan
kriterianya, misalnya: kulit binatang, sayur mayur dll, maka tidak boleh
diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror
(untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut yang artinya :
“Bahwasannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan.” (Riwayat Muslim)
c.
Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat
Akad Dilangsungkan
Dari hadits di atas, dapat dipahami
pula bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati
kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal
yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta
setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Sebagai contoh: Bila A hendak
memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang
dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras,
karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai dengan
perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan
beras IR.
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu –biasanya-
lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras grade 1
lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur, lebih
mahal dari beras hasil daerah lainnya.
Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga
beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan
dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda yang artinya:
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia
memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan
dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo
yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila warna barang memiliki pengaruh
pda harga barang, maka warnapun harus disepakati kedua belah pihak. Misalnya
kendaraan, harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi
oleh warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang
berwarna metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan
ia harus menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
d.
Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang
Pesanan
Tidak aneh bila pada akad salam,
kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo
pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama’-
haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Hingga
tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun
‘alaih)
e.
Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada
Saat Jatuh Tempo
Pada saat menjalankan akad salam,
kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek
tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam
syari’at Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman
seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “Barang harus diadakan pada
selain waktu musim buah durian dan mangga”, maka pemesanan seperti ini tidak
dibenarkan. Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan), akad
semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip
dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaimana disebutkan pada
hadits berikt yang artinya:
“Tidak ada
kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari
perbuatan.” (Riwayat
Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di
pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan
perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan
percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh karenanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdayang artinya:
“Dari
sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling
menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling
membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari
kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah
yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya,
tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya
orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
f.
Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang
Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Yang dimaksud dengan barang yang
terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun
pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki
kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari
ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk
menghindarkan akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja
kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa
mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan gabah
kepada seorang petani dengan kriteria yang telah disepakati, maka pada akad
salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan menyatakan:
gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri. Akan tetapi
petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia berhak
menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang lain,
yang telah ia beli terlebih dahulu.[6]
[1] Imam Mustofa, S.H.I., M.SI. 2016. FIQIH MU’AMALAH Kontemporer,Jakarta:Rajawali
Pers.hal 88
[2] Ibid.hal 90
[3] Ibid.hal.91
[4] Gufron A. Mas’adi,M.Ag.2002”FIQH MUAMALAH KONTEKSTUAL”jakarta(PT
RajaGrafindo Persada)hal 146-148
[5] aplikom1314t4g.blogspot.com/2014/01/jual-beli-salam-dan-istishna.html
[6] pengusahamuslim.com/1154-jual-beli-as-salam.html
Kalo bisa referensinya dari kitab apa. Jgn dri buku buku gtu, cek dong keaslian atau kelegalan dri sumber ilmu.a yaitu kitab. Hemp. Zaman sekarang mah udh copas maka.a bahaya juga untuk keabsahan.a
BalasHapus