Kamis, 08 Juni 2017

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI SALAM



BAB I
PEMBAHASAN

A.    RUKUN JUAL BELI SALAM
Jumhur ulama berpandangan bahwa rukun salam ada tiga yaitu
1.      Sighah yang mencakup ijab dan kabul
2.      pihak yang berakad, orang yang memesan dan yang menerima pesanan,
3.      barang dan uang pengganti uang barang.
Sighah harus menggunakan lafazh yang menunjukan kata memesan barang, karena salam pada dasarnya jual beli dimana barang yang menjadi objeknya belum ada. Hanya saja diperbolehkan dengan syarat harus menggunakan kata “memesan” atau salam. Kabul  juga harus menggunakan kalimat yang menunjukan kata menerima atau rela terhadap harga. Para pihak harus mencakup hukum (baligh atau mumayyiz dan berakal) serta dapat melakukan akad atau transaksi. Sementara barang yang menjadi objek jual beli salam  adalah barang harus milik penuh si penjual,  barang yang bermanfaat, serta dapat diserahterimakan. Sementara modal harus diketahui, modal atau uang harus diserahkan terlebih dahulu di lokasi akad.[1]
            Rukun salam di atas bila dipilah-pilah sebenarnya ada lima hal,
1.      orang yang memesan (muslim) atau pembeli,
2.      orang yang menerima pesanan (muslim ilaih) atau penjual,
3.      barang yang dipesan (muslamfih)
4.      modal (ra’su mal al-salam)
5.      dan akad (ijab dan kabul)


B.     SYARAT JUAL BELI SALAM
Ulama telah bersepakat bahwa salam  boleh dilakukan dengan syarat sebagai berikut :
1.      Jenis objek jual beli salam harus jelas
2.      Sifat objek jual beli salam harus jelas
3.      Kadar atau ukuran objek jual beli salam harus jelas
4.      Jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas
5.      Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak
KHES Pasal 103 ayat 1-3 menyebutkan syarat salam sebagai berikut:”(1)Jual-beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang sudah jelas.(2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan atau meteran.(3) Spesifikassi barang yang dipesan harus diketahui  secara sempurna oleh para pihak.”
Persyaratan salam, khususnya syarat modal dan barang secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Syarat Modal
Modal dalam salam harus memenuhi syarat antara lain:
a)      Harus jelass jenisnya, misalnya satuan rupiah, dolar atau mata uang lainnya bila modal berupa uang tunai; bisa juga barang yang bernilai dan terukur, misalnya satuan kilo gram atau satuan meteran dan sejenisnya bila modal berupa barang.
b)      Harus jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari beberapa mata uang. Bila modal berupa barang, misalnya berass, harus jelas beras jenis apa;
c)      Harus jelas sifatnya dan kualitassnya, baik sedang atau buruk; ketiga syarat ini untuk menghindari ketidakjelasan modal yang diberikan pembeli kepada penjual, sehingga mencegah terjadinya perselisihan diantara penjual dan pembeli;
d)     Harus jelas kadar modal bila modal memang suatu yang berkadar. Hal ini tidak cukup dengan isyarat, harus jelas dan eksplisit;
e)      Modal harus segera diserahkan di lokassi akad atau transaksi sebelum kedua belah pihak berpisah; apabila kedua belah pihak berpisah sebelum pemesan memberikan modal, maka akad dianggap rusak dan tidak sah.[2]


2)      Syarat barang yang dipesan (muslam fih)
Barang yang menjadi objek jual beli salam harus memenuhi syarat antara lain:
a)      Harus jelas jenisnya, seperti beras, jagung dan sejenisnya
b)      Harus jelas macamnya; seperti beras Rojo Lele, Pandan Wangi dan sejenisnya;
c)      Haruss jelaas sifat dan kualitasnya; seperti beras IR yang bagus, sedang atau yang berkualitas rendah;
d)     Haruss jelas kadarnya; seperti dalam satuan kilo gram, takaran, centimeter, bilangan atau satuan ukuran-ukuran lainnya;
e)      Barang tidak dibarter dengan barang sejenis yang akan menyebabkan terjadinya riba fadl;
f)       Barang yanag dipesan harus dapat ddijelaskan spesifikasinya; apabila barang tidak dapat dijelasskan spesifikassinya, seperti mata uang rupiah atau dirham, maka salam tidak sah;
g)      Penyerahan barang harus diwaktu kemudian, tidak bersamaan dengan penyerahan harga pada waktu terjadinya akad; bila barang diserahkan langsung maka tidak disebut salam , akan tetapi jual beli biasa; menurut ulama Hanafiyah jangka waktu salam addalah sekitar satu bulan, sementara menurut Malikiyah sekitar setengah bulan atau 15 hari; karena jangka waktu tersebut yang umum terjaddi pada pemesanan barang;
h)      Kadar objek akad dalam salam harus jelas dan pasti, karena dalam jual beli salam tidak berlaku Khiyar syarat kedua belah pihak  atau salah satunya;
i)        Tempat penyerahan barang harus jelas, ini addalah persyaratan menurut Hanafiyah;
j)        Objek akad salam atau barang yang diperjual belikan merupakan barang yang dapat dijelaskan sifat, jenis, kadar, macam dan kualitasnya;[3]
Beberapa persyaratan akad salam yang diperselisihkan oleh ulama antaralain:
1.      Harga atau ra’s al-mal harus dibayarkan dimka dan diserahkan secara langsung dalam majlis akad sebelum kedua belah pihak berpisah, harga tersebut bisa berupa uang maupun barang. Jika keduanya berpisah sebelum serah terima harga, maka akad salam batal dengan sendirinya. Sebab yang demikian ini tidak sesuai dengan pengertian dan tujuan salam. Sebagaimana diketahui bahwa Al-salaf berarti pembayaran dimuka, sedang al-salam berarti penyerahan harga. Adapun tujuan semua itu adalah untuk membantu atau meringankan biaya produksi. Pada sisi lain dipahami bahwa akad salam sesungguhnya masuk dalam kategori jual beli ‘ain (barang,kontan) dengan dain.jika harga tidak diserahkan pada majlis akad, maka kategorinya berubah menjadi jual beli dain dengan dain. Fuqaha Hanafiya, Syafi’iyah dan Hanabilah ssepakat terhadap persyaratan ini. Sedang menurut Imam Malik pembayaran harga dapat diakhirkan paling lama tiga hari setelah akad. Jika lebih dari tiga hari, akad salam menjadi fasid.
2.      Barang yang dipesan harus bersifat dain (tidak kontan). Syarat ini disepakati ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, berdasarkan teks hadis “ila ajalim ma’lum”. Penyerahan barang secara kontan menurut mereka justru membatalkan akad salam. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, akad salam tetap sah meskipun barang yang dipesan diserah-terimakan secara langsung. Jika akad salam ini boleh dilakukan secara tunda, maka penyerahannya secara langsung lebih pantas untuk diperbolehkan. Imam Syafi’i  memahami teks hadis”ila ajalim ma’lum” dengan pengertian bahwa penundaan tersebut harus dinyatakan secara jelas, tidak dalam pengertian bahwa penundaan tersebut sebagai suatu keharusan (syarat) dalam akad salam.
3.      Barang yang dipesan harus selalutersedia dipasaran sejak akad berlangsung sampai tiba waktu penyerahan, seperti palawija dan buah-buahan. Jika barang pesanan tidak tersedia dipasaran seperti terjadi pada musim paceklik, maka tidak boleh dilakukan akad salam atassnya. Karena mustahil akad salam tersebut dapat dipenuhi. Demikian ini adalah pendapat sebagian besar fuqaha Hanafiyah. Fuqaha Malikiyah, dan Syafi’iyah. Sedangkan Hanabilah tidak mensyaratkan keharusan tersedianya barang pesanan dipasaran ketika akad berlangsung. Karena sesungguhnya yang terpenting menurut mereka adalah kemampuan menyerahkan barang pesanan. Hal ini didasarkan riwayat hadis Nabi tentang akad salaf sebagaimana telah disampaikan dimuka.
4.      Harus ada kejelassan tempat penyerahan barang terutama jika penyerahannya memerlukan ongkos (biaya pengiriman). Ini merupakan syarat yang dipegangi oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut Hanabilah tidak disyaratkan adanya kejelasan tempat penyerahan. Jika demikian, menurut Hanabilah, [enyerahannya berlangsung ditempat akad berlangsung.
5.      Barang yang dipesan dalam akad salam harus berupa  al-misliyat, yakni barang yang banyak padanannya dipasaran yang kuantitasnya dapat dinyatakan melalui hitungan, takaran, atau timbangan. Demikian ini merupakan syarat yang disepakati fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah akad salam dibolehkan atas barang al-qimiyyah yang dapat dinyatakan dengan kreteria tertentu.[4]
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)      Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
                             i.            Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat;
                           ii.            Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
                         iii.            Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
b)      Ketentuan Barang:
                         i.            Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
                       ii.            Penyerahan dilakukan kemudian;
                     iii.            Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
                     iv.            Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
                       v.            Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c)      Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
                    i.            Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
                  ii.            Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
                iii.            Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon); dan
                iv.            Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tam­bahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu pe­nyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela me­nerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.      Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.      Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.[5]

Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits berikut yang artinya:

Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallhu ‘anhuma, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: ‘Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'” (Muttafaqun ‘alaih)
Berdasarkan dalil di atas dan juga lainnya, para ulama’ telah menyepakati akan disyari’atkanya jual-beli salam. Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak.
a.      Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama’ telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang artinya sebagai berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang jual-beli piutang dengan piutang.” (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama’ diantaranya Imam As Syafi’i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)
Walau demikian halnya, banyak ulama’ yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama’ telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang.”
b.     Syarat Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud. Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya: kulit binatang, sayur mayur dll, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut yang artinya :
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan.” (Riwayat Muslim)
c.       Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Dari hadits di atas, dapat dipahami pula bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR.   
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu –biasanya- lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras grade 1 lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur, lebih mahal dari beras hasil daerah lainnya.  
Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda yang artinya:
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila warna barang memiliki pengaruh pda harga barang, maka warnapun harus disepakati kedua belah pihak. Misalnya kendaraan, harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi oleh warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang berwarna metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan ia harus menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
d.      Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan
Tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama’- haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
e.       Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari’at Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga”, maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”, sebagaimana disebutkan pada hadits berikt yang artinya:
“Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan.” (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdayang artinya:
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
f.       Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan gabah kepada seorang petani dengan kriteria yang telah disepakati, maka pada akad salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan menyatakan: gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri. Akan tetapi petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia berhak menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang lain, yang telah ia beli terlebih dahulu.[6]

              





[1] Imam Mustofa, S.H.I., M.SI. 2016. FIQIH MU’AMALAH Kontemporer,Jakarta:Rajawali Pers.hal 88
[2] Ibid.hal 90
[3] Ibid.hal.91
[4] Gufron A. Mas’adi,M.Ag.2002”FIQH MUAMALAH KONTEKSTUAL”jakarta(PT RajaGrafindo Persada)hal 146-148
[5] aplikom1314t4g.blogspot.com/2014/01/jual-beli-salam-dan-istishna.html
[6] pengusahamuslim.com/1154-jual-beli-as-salam.html

1 komentar:

  1. Kalo bisa referensinya dari kitab apa. Jgn dri buku buku gtu, cek dong keaslian atau kelegalan dri sumber ilmu.a yaitu kitab. Hemp. Zaman sekarang mah udh copas maka.a bahaya juga untuk keabsahan.a

    BalasHapus